background

BERITA

UNHI dan Bali Wisdom Bahas Buku Sastra Wangsa


Image

Persoalan wangsa merupakan suatu hal yang masih kental bagi masyarakat Bali. Kurangnya pemahaman terhadap wangsa tanpa dilandasi sastra akan mendatangkan fanatisme kewangsaan seseorang dan bisa membuat gejolak antar wangsa. Hal itulah membuat Yayasan Bali Wisdom membedah buku Shastra Wangsa di Aula Universitas Hindu Indonesia (Unhi), Denpasar Minggu (28/10).

Buku Shastra Wangsa, merupakan hasil terjemahan dari (alm) IBM. Dharma Palguna dengan menulis apa yang ia baca dan dengar dari tokoh-tokoh agamawan. Pembedah buku Prof. Dr. I Wayan Sukayasa menjelaskan, buku itu terdiri atas dua bagian. Terjemahan kewangsaan, dan kamus istilah dari kewangsaan itu sendiri. “Wangsa ini sebagai pil pahit bagi kita menurut dia. Kemudian dia mencoba mengobati dengan memberikan obat yang berupa sastra ini,” terangnya.

Sukayasa juga mengatakan orang yang diberikan pil adalah orang yang sakit. Sedangkan keberadaan kita dianggapnya sakit, lantaran sakit terkait fanatisme kewangsaan. Tak jarang membuat sekelompok orang menunjukkan wangsa mereka masing-masing dengan membuat paiketan. Lantaran dianggap sakit kewangsaan, maka sastra wangsa tersebut disebutnya sebagai obat yang akan menyembuhkan jika benar-benar dipahami.

“Kalau saya umpamakan orang sakit kewangsaan itu seperti sakit sariawan. Karena datangnya dari dalam diri sendiri, panasnya itu juga dari dalam diri. Obatnya adalah tattwa keleluhuran dengan cara membaca teks Shastra Wangsa tersebut,” ungkap Direktur Pascasasrjana UNHI Denpasar tersebut.

Lanjutnya, dalam buku tersebut terdapat ilmu tentang kewangsaan. Mulai dengan mengolah seni bahasa dari berbagai aspek ilmu. Tidak menutup kemungkinan alm. IBM Dharma Palguna memperolehya dengan belajar secara otodidak. Di samping itu juga pengaruh lingkungannya yang sering bergaul dengan orang nyastra.

Sukayasa mengaku sebelumnya ia memang sudah kenal dengan alm. IBM Dharma Palguna semasa duduk di bangku kuliah. Dikatakan juga ia memang penekun sastra yang sangat kritis terhadap kata-kata yang ada di lontar. Selain itu juga sangat bersifat sosial religius, dan menghibur.

“Bedah buku-buku ini juga sebagai memperingati setahun kepergian almarhum, ini menandakan karya almarhum masih tetap hidup dan sebagai pegangan oleh anak cucu kita nanti,” terang pria asli Tabanan tersebut.

Pada tempat yang sama, salah satu dosen Universitas Udayana, I Putu Eka Guna Yasa, SS,.M.Hum mengaku belakangan ini wangsa dan kewangsaan mulai ngetren kembali. Bahkan sudah mulai membuat paiketan-paiketan dan rentan menjadikan keretakan dalam sesama umat. “Gejolak wangsa satu dengan yang lainnya saat ini sudah mulai kelihatan. Terlebih jika dikaitkan dengan politis akan membuat keretakan antar wangsa,” ucapnya.

Dinamika dan prilaku seseorang yang seperti itu menurutnya bisa saja akan menjadi kepongor (sakit tanpa sebab, Red). Pasalnya kepongor bisa saja ditimpa oleh siapa saja karena mengingkari janji yang diucapnya kepada leluhur secara personal. “Misalnya banyak pekerjaan namun secara fisik dan material dia selalu kekurangan. Maka sastra ini sesungguhnya penuntun kehidupan,” terang Guna Yasa.

Tambahnya, untuk menanggulangi gejolak dan keteretakan yang disebabkan oleh fanatisme kewangsaan tersebut dapat dilakukan dengan belajar sastra wangsa itu. Karena sastra juga dapat dikatakan orang tua kita juga, sehingga dapat mencegah tejadinya gejolak kefanatikan tersebut. *